Monday, March 23, 2020

Pilihan


picture from tinybuddha.com

Kembali sedikit cerita dari awal tahun 2019, tahun lalu saya berhenti dari pekerjaan yang bisa memberiku penghasilan yang lumayan dan memilih untuk coba berdikari, tapi saya gagal, 6 bulan pertama di tahun 2019 merupakan waktu yang sangat berat bagiku, saya hampir kehilangan tujuan hidup, dan tekanan dari keluarga sangat besar walau mereka tidak menyebutnya tapi itu sangat terasa saat kita tinggal di atap yang sama. Di akhir pertengahan tahun baru terjadi perubahan, perubahan itu saya terima dengan pasrah, karena berarti saya sudah menyerah mimpi ingin berdikari sendiri dan kembali jalani hidup sebagai seorang pekerja, bukan berarti saya tidak bersyukur tapi merasa sudah mengagalkan diri sendiri. Mungkin itu sebenarnya  adalah pilihan, yang saya sendiri tidak sadari, memilih untuk kembali ke zona nyaman.

Dalam sebuah moment yang santai, ada rekan kantor pernah bilang “Hidup ini penuh dengan pilihan, sadari atau tidak, kita selalu melakukan pilihan.” Beliau saat itu menyampaikan pemikiran ini dalam hal soal pernikahan, beliau sedang membandingkan saya dengan satu rekan kerja lainnya yang kira-kira hampir seumuran, rekan kerja yang dibandingkan itu sudah berkeluarga dan anak pertama akan segera lahir, sedangkan saya masih single. Beliau bilang mungkin bagi teman saya itu pilihannya ingin punya keluarga walau harus korbankan me time, kebebasan dan free time, sedangkan saya mungkin lebih memilih kebebasan dibanding punya keluarga, itulah pilihan yang dimaksud, sadar atau tidak sebenarnya kita sudah memilihnya. Saat itu saya tidak tahu apakah pandangan beliau bisa sepenuhnya bisa dianggap benar olehku, apakah benar itu yang saya pilih?

Soal pilihan berkeluarga, tentu pernah jadi pilihan tapi selalu terhenti di suatu titik yang belum berani saya lampaui, pernah saya mencoba bersikap pasrah serahkan pilihan kepada orang tua tapi jadinya saya semakin stress saat memikirkan kembali, akhirnya saya tarik undur sendiri. Kadang saat malam sunyi menjelang tidur, suka menatap kosong dan berpikir apakah saya akan terus seperti ini? Kehidupan seperti apa yang saya dambakan di hari tua nanti, suatu waktu saat saya akan meninggalkan dunia ini, apakah saya akan pergi dengan senyap tanpa ada siapa pun di sampingku? Tentu semua orang menginginkan kebahagiaan, hanya wujud yang beragam dan caranya bervariasi, menemukan orang yang bisa berbagi pemikiran yang sama tidaklah mudah, dari pengalaman-pengalaman terdahulu membuat saya tidak terlalu berharap banyak kebahagiaan bisa diberikan oleh orang lain, yang saya dambakan sangat sederhana, saat selesai kerja balik ke rumah ada yang tungguin atau ada yang saya tungguin, makan bersama, ngobrolan tidak penting tentang aktivitas sepanjang hari, mengeluh capek langsung ada yang beri pijitan ringan, nonton TV bersama hingga ngantuk dan istirahat bersama, saat esok paginya buka mata dia orang pertama yang saya lihat, semua gambaran seperti itu ada, tapi saya tidak bisa membayangkan siapa orangnya. Lihat orang berpasangan di jalanan atau di mana pun rasanya juga biasa saja, tidak ada rasa ingin seperti itu, tidak ada pikiran mencari juga tidak menanti siapa pun, mungkin memang benar kata temanku, saya memilih kebebasan? Saya tidak tahu, kadang merasa saya lebih cenderung menutup diri ke orang lain.

Friday, August 23, 2019

Hadiah untuk diri sendiri

Mungkin ini blog terpanjang dan terlama sejauh ini saya tulis, jadi harus banyak mengingat kembali saat menuangkan kembali dalam tulisan, karena kejadian yang diceritakan sudah mau setahun yang lalu.

November tahun lalu saya memberikan diri sendiri sebuah kado, kado yang saya inginkan, kata orang kebahagiaan itu berada di tangan diri sendiri dan cuma bisa diberikan oleh diri sendiri juga, mungkin bagi orang lain kado ini tidak ada artinya atau bahkan tidak menarik sama sekali.

Dipertengahan tahun 2017 saya pernah mengajukan berhenti dari pekerjaan, alasan sebenarnya karena terlalu sering “dianggurin” dan mengerjakan apa yang seharusnya tidak kukerjakan, walau semua bisa dikerjakan dengan baik tapi merasa unsur politik yang tajam di kantor, dan mungkin ada sedikit diskriminasi, saya beralasan mungkin kemampuan saya belum bisa penuhi kebutuhan perusahaan berharap perusahaan bisa memutuskan hubungan kerja lebih cepat dari semestinya (perlu diketahui bahwa jika saya berhenti kerja sebelum masa kerja berakhir, maka akan kena penalty sejumlah sisa bulan dikali gaji bulanan, itu berarti saya harus ganti rugi 18 bulan gaji). Permintaan tersebut tidak disetujui dan saya diminta untuk komitmen menyelesaikan masa kerja sesuai perjanjian kontrak, merasa negosiasi mentok, terpaksa saya harus terus melanjutkan pekerjaan hingga masa kontrak berakhir. Lantas setelah berhenti, apa langkah selanjutnya? Jujur, saya tidak tahu, saya hanya mengikuti apa kata hati, saya merasa harus keluar dari suasana tidak menyenangkan ini baru bisa tenang memikirkan apa selanjutnya. Saya terus berpikir dan berpikir tapi buntu, kemudian terlintas dari pada pusing dengan apa yang belum bisa dikendalikan, lebih baik nikmati apa yang bisa saya gapai, keputusannya nanti bulan Desember.

Di saat itu sebenarnya saya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan dan menenangkan, tapi tidak ada, jadi saya cari alternative lain untuk “menyenangkan diri” , belilah PS4, kemudian kamera, dan tiket PP Bangkok Chiangmai untuk acara Loy Krathong, bagi orang lain mungkin memang sekedar kado ulang tahun untuk diri sendiri, tapi sebenarnya ada yang sedang direncanakan, karena bagiku ini mungkin untuk terakhir kalinya bisa membelanjakan apa yang diinginkan tanpa berhemat diri, jika beruntung mungkin dalam waktu dekat bisa kembali normal, tapi jika tidak beruntung…mungkin harus bisa kencangkan ikat pinggang hingga waktu yang belum bisa diketahui.
PS4 dan kamera mudah dipahami karena memang hobby, lantas kenapa ke Chiangmai? Karena bertepatan di bulan November ada acara Loy Krathong yang sudah lama di nanti-nantikan dan saya benar benar berharap bisa nikmati keindahan lampion di tengah langit malamnya Chiangmai, kebetulan bertepatan untuk sekalian rayakan ulang tahun, tapi rencana solo traveling tidak berjalan mulus. Ditengah persiapan menuju hari keberangkatan, si dia yang di China ajak travelling, sebenarnya ajakan seperti ini sudah tidak asing, karena sudah cukup sering dia mengajak tapi hampir selalu saya tolak, dan kali ini juga saya tolak, karena semua wisata di Bangkok, Chiangmai, dan acara Loy Kratong sudah saya rencakan dan intinya ingin solo travelling. Saya cerita sedikit siapa Dia yang dimaksud, dengan dia sebenarnya sudah sangat tidak asing, karena sudah kenal dari tahun 2007 tapi tidak menuju status lebih lanjut, hanya sebatas teman, dia pernah bilang “sebenarnya kita sangat cocok, bayangkan saja kita sudah berteman bertahun tahun, meski beda warga negara, tapi komunikasi tidak pernah ada masalah.” Ya ada benarnya sih, kadang yang menggunakan satu bahasa saja mudah salah paham, komunikasi itu sangat penting, bukan sekedar chat tiap saat. Dia bilang saya bisa mengerti dia apa adanya, dan dia pernah sampaikan ingin LDR. Sejarah dengan dia cukup panjang, saya pernah benar-benar suka dengannya, tapi saat itu dia yang mundur, namun selang dua tahun kemudian dia mulai ajak komunikasi kembali dan sifat dia banyak berubah,  kemudian belum lama ini dia mengutarakan ingin LDR, saya sempat mempertimbangkan, karena perjalanan relationship selama ini juga gagal semua dan saya sudah malas untuk kenalan dengan orang baru, mungkin harus pertimbangkan orang lama, bisa jadi dia orang yang tepat untuk awet selamanya.

Akhirnya hari keberangkatan tiba juga, kamera sudah siap, tiket sudah ditangan, buku catatan untuk semua tujuan yang ingin dikunjungi juga sudah siap, bagaimana naik bus, naik LRT, bagaimana ke sana ke situ dan semuanya dinikmati sendirian, betapa menyenangkan nantinya, tapi ya seperti yang saya bilang tadi, tidak berjalan mulus, karena tiba-tiba dia mengkabari bahwa dia akan terbang dari China dan tiba di Bangkok di malam yang sama. Ya…saya bisa berkata apa, anggap saja sebuah kejutan, dan dia janji tidak akan ganggu jadwal yang sudah saya susun. Selama di pesawat saya jadi berpikir, kapan terakhir kalinya saya bertemu dengannya? Rasa-rasanya sudah hampir mau 5 tahun lalu, komunikasi juga jarang, chat satu dua baris seperlunya selesai, dan saya juga ingat baru beberapa bulan lalu saat dia ajak travelling (dari sana dia tahu schedule saya) dia juga menyampaikan tidak keberatan LDR, apakah ucapan dia saat itu serius? Mungkin pertemuan ini bisa memberi jawaban.

Pesawat mendarat, dari bandara saya langsung ke hotel, saya pilih hotel yang di area Asiatiq karena menurut informasi dari internet, acara Loy Kratong biasa berlangsung di lokasi dekat sungai, warga setempat akan melepaskan kapal kertas bentuk teratai ke sungai dan melepaskan lampion ke langit. Saya cek jam di HP sudah mau jam 6 sore dan dia baru akan tiba sekitar jam 8an malam, berarti harus lama menunggu. Jam tik tak tik tak, saya jadi berpikir, dia yang sekarang seperti apa? Gendutkah? Kuruskah? Rambut pendek atau panjang kah? Sempat tertidur karena kelamaan tunggu dan sebenarnya sudah sangat lapar dan sudah tidak sabar ingin jalan di jalanan malam kota Bangkok yang ramai,  mencoba tujuan kuliner yang pertama yaitu sup ikan, konon kedai ini People Choice, lihat foto dari internet saja sudah buat air liur mau netes. Hampir jam 9 malam akhirnya dia tiba di hotel, lima tahun tidak ketemu, bagaimana rasanya? Kata pertama yang keluar dari mulutnya “Kamu terlihat makin mirip bintang porno Jepang.” saya balas “Kamu terlihat makin lezat juga.” dan suara tertawa kita pun lepas.

Selama di Bangkok, dia tepati janji tidak ganggu jadwal yang sudah saya susun, kadang kita jalan sendiri-sendiri karena tujuan berbeda, kadang dia ikut saja ke mana saya pergi, kita banyak tukar cerita apa yang terjadi selama ini, siapa saja orang baru yang dikenal, tentang kerjaan dan saya ceritakan rencana untuk resign dari pekerjaan sekarang ini, dia kaget dan bertanya apakah sudah dapat pekerjaan baru? Saya menjawab belum ada dan belum ada rencana cari kerjaan baru. Kita juga bercerita soal relationship masing-masing, selama ini dia ada kenal beberapa orang dan semuanya juga gagal, uniknya adalah bagaimana dia memandang soal relationship, dia bilang “Jika karena suatu kondisi dan terjadi hubungan badan dengan orang lain saat dia masih berpasangan, maka ya terjadilah, saya tidak akan menyangkal, saya bukanlah orang suci.” Dia juga bercerita dia masih menyayangkan putus dengan pasangannya yang terakhir. Dari cara dia bercerita, saya menyadari ternyata tidak ada perasaan cemburu, marah, jijik, men-cap dengan tingkah laku dia atau apa pun, saya hanya netral sebagai pendengar, dan itu membuat saya sadar bahwa saya tidak mungkin LDR dengan orang di depan mata saya ini, kita hanya bisa sebatas teman, selama travelling walau kita tidur seranjang, tapi tidak pernah terjadi apa-apa. Saya merasa dengan dia sudah melewati satu fase yang berbeda.

Selesai dari Bangkok kami lanjut terbang ke Chiangmai, saat naik taxi menuju bandara dia terus genggam tanganku, saya penuh tebakan terhadap tindakan dia ini, tapi tidak pernah saya tanyakan langsung. Tiba Chiangmai, karena hotel pesanan kita berbeda, dia tawarkan untuk pindah ke hotelnya saja, saya booking hostel yang dekat keramaian dan dia booking resort yang jauh dari keramaian. Dikarenakan hostel yang saya pesan sudah full sehingga tidak memungkinkan dia untuk pesan lagi, maka akhirnya saya yang mengalah untuk ikut ke resort dia dan ternyata itu adalah suatu keputusan yang nantinya saya sadari tidak tepat. Transport di Chiangmai ternyata tidak seperti di Bangkok yang serba praktis, Chiangmai masih cenderung menggunakan taksi atau mobil rental, harga juga tidak murah, karena titik kita ke pusat keramaian juga relative jauh. Pada saat tiba di Chiangmai, driver yang antar kami ke hotel beritahu bahwa malam ini adalah hari terakhir perayaan Loy Krathong.
Resortnya memang indah, kamarnya juga besar, tapi lokasinya jauh ke tempat keramaian dan cuma bisa ditempuh dengan taxi. Selesai check in kami langsung makan besar, dan tidak ada pilihan tempat makan lain yang dekat selain di hotel. Habis makan istirahat kita langsung berangkat ke pusat kota dan suasana pusat kota sudah ramai pengunjung dari manca negara untuk menyaksikan keseruan Loy Krathong, kita jadi makin yakin kalau lokasi yang kita kunjungi sudah tepat, karena awalnya kita masih agak ragu apakah pemilihan titik untuk menyaksikan acara sudah tepat atau belum, meskipun sebenarnya supir taxi juga arahin kami ke titik ini.
Malam Loy Krathong sangat menyenangkan, saya beli 3 lentera untuk dilepaskan, tapi tidak ingat doa apa yang saya sampaikan, mungkin karena terlalu seru menikmati keramaian malam Loy Krathong, sebenarnya dalam hati masih merasa bahwa ini sepertinya bukan the best spot nya, tapi yang penting menikmati saja suasana keramaian malam itu dan tidak lupa mencicipi makanan baru.

 









Pulang ke hotel saya lihat sudah mau jam 3 pagi, suasana di hotel sunyi sepi, walau ada juga tamu lain melepaskan lentera dekat kolam renang, tapi beda sekali suasananya. Saya tidak ingat malam itu saya tertidur jam berapa, pagi saat bangun saya merasa badan agak panas, tapi saya abaikan lanjut mandi dan beres-beres, si dia masih tetap tidur, saya langsung pergi ke tempat sarapan sambal memikirkan hari ini ingin berkunjung ke mana lagi, selesai makan merasa ada yang tidak beres, badan saya semakin panas dan lemes, akhirnya saya terkapar di kasur saja. Dia sempat tanya kondisi saya, tapi saya persilahkan dia lanjut acara jalan-jalannya saja, saya tidak ingin merusak jadwal jalan-jalan dia dan kemarin dia sempat sudah rencanakan ingin ke beberapa tempat. 

Akhirnya saya berhasil bujuk dia lanjut jalan-jalan saja, dan dia bilang mungkin akan sekalian ketemuan dengan orang lain juga, tidak masalah bagi saya. Beberapa jam kemudian, dia pamit pergi dan saya sendirian di kamar, saat itu merasa kesadaran hanya ada setengah saja, tidak tahu sudah berbaring berapa lama, rasanya sudah jam makan siang jadi saya paksakan diri bangun dan mau jalan ke restoran hotel, itu saja dunia sudah rasanya bolak balik, padahal mungkin cuma berjarak tidak lebih dari 10 meter. Karena makanan Thailand mayoritas pedes, pikirnya mungkin menu bubur tadi pagi masih ada, untuk makan lainnya benar-benar tidak bisa, tapi pelayan hotel bilang layanan sarapan sudah ditutup, untuk menu bubur tidak ada di menu makan siang, saya kembali bertanya apakah ada klinik atau restoran di sekitar sini yang bisa terjangkau dengan jalan kaki? Staff hotel bilang tidak ada yang dekat, paling dekat mungkin sekitar 5km dari hotel, merasa tak berdaya akhirnya saya balik ke kamar memilih tidur saja, baru rebahan sebentar saya merasa tidak tahan dengan rasa lapar, demam dan pusing kepala, akhirnya saya paksakan kembali ke receptionis minta dipesankan taxi untuk pergi ke klinik, tapi staff hotel sangat membantu, mereka memutuskan mengantar saya langsung ke mini market terdekat untuk beli obat dan sekaligus beli makanan. Hari itu sepanjang hari saya tertidur lemas dengan kondisi demam dan sakit kepala, entah berapa lama saya tertidur hingga saya terdengar suara pintu terbuka, sepertinya sudah sangat malam, karena kondisi ruangan sangat gelap lampu belum dinyalakan dan sunyi, senyap-senyap saya berusaha buka mata, ternyata dia sudah pulang, dia sempat pegang kening dan bertanya apakah saya sudah makan belum? Tapi saya tidak jawab, bukan karena tidak mau jawab, tapi memang sudah sangat lemas bahkan untuk sekedar buka suara. Setelah dia beres-beres, dia juga naik ranjang untuk istirahat, dia kembali bertanya, sepertinya deman kamu tidak turun-turun, yakin besok kamu bisa berangkat ke bandara? Saya kembali tidak jawab, karena benar-benar sudah sangat lemes dan tidak tahan dengan pusing kepalanya, untuk buka mata saja rasanya sangat menyiksa. Jadwal kepulangan saya dengan dia memang berbeda, saya pulang sehari lebih cepat.

Subuh-subuh alarm hp sudah berbunyi, kondisi badan saya masih tidak membaik, sambil paksakan diri berberes dan packing, dia masih tertidur. Waktu menunjukkan jam 6 pagi, saya langsung pergi sarapan dengan harapan agar badan cukup kuat untuk tempuh perjalanan seharian nanti. Selesai sarapan saya balik ke kamar untuk ambil koper karena staff hotel sudah kabari taxi ke bandara sudah siap, saat masuk kamar dia masih di ranjang, setengah bangun bertanya, apakah badan kamu sudah baikkan? Saya bilang masih sama dengan kemarin, malah tadi makan sarapan tidak ada rasanya, tapi saya paksakan makan. Saya juga bertanya hari ini rencana jalan-jalan ke mana? Dia bilang hari ini dia sudah ada rencana ketemuan dengan temannya, sehabis itu saya pamitan dan dia lanjut tidur.
Sepanjangan perjalanan dari hotel ke bandara, saya tertidur lemas, bahkan tak kuat buka mata untuk melihat sekilas kota Chiang Mai untuk sekejap, penerbangan dari Chiang Mai ke Bangkok memang singkat hanya 30 menit, tapi penerbangan transit berikutnya dari Bangkok ke Jakarta masih lama, saya yang dalam kondisi lemas, demam, pusing kepala binggung harus menunggu di mana yang memungkinkan bisa tidur, setidaknya bisa buat rebahan, setiba di airport Bangkok, gate penukaran tiket masih belum dibuka, akhirnya saya memilih ke restoran saja, kembali paksa makan sesuatu biar ada tenaga, tapi apa pun yang dimakan semua hambar tak ada rasa dan harus dipaksakan untuk telan. Sehabis makan saya tertidur di meja restoran cukup lama, mungkin ada sejam, kemudian kembali cek ke penukaran boarding pass, merasa lebih aman menunggu di ruang tunggu saja mungkin bisa lanjut tidur dan jaga-jaga tidak ketinggalan pesawat, pada saat sudah di ruang tunggu, saya baru sadar sepertinya di airport Bangkok ada klinik, seharusnya saya bisa istirahat di sana, tapi sudah malas beranjak dari tempat duduk, malam itu juga dengan penuh perjuangan akhirnya saya selamat balik ke Jakarta.
Solo traveling ini mengajarkan saya banyak hal, saya merasa bersyukur saya tidak pernah merasa ada ketergantungan kepada siapa pun, merasa bersyukur tidak terlalu main perasaaan di saat single, dan merasa bersyukur tidak pernah banyak berharap ke siapa pun dalam kondisi seperti ini, saya sangat sabar dan santai menghadapi cobaan terakhir ini, entah kenapa dadakan bisa demam parah dan pusing kepala, padahal tidak ada gejala apa-apa sebelumnya dan bisa santai suruh teman lanjut jadwal acara dia tak perlu urusin saya, padahal teman ini bilangnya perhatian, sayang dan lain lain, saya baik-baik saja melewati semua ini, tidak ada ribut-ribut juga, semua ini seperti membuat semuanya terlihat lebih jelas, bahwa hampir semua orang itu selalu mengantungkan keinginnan dia kepada orang lain, berharap ingin dapat sesuatu dari orang lain, ingin waktunya, ingin perhatiannya, ingin hartanya (mungkin ada yang begitu), tapi tidak pernah ingin mengerti dan memberi apa yang orang lain inginkan, tidak semua kebaikan atau pemberi dari kita itu artinya wajib diterima orang lain juga, karena bisa jadi memang bukan itu yang diinginkan, tidak perlu menyalahkan orang lain yang tidak terima kebaikan dan tidak perlu merasa bersalah diri juga.
Saya merasa lega karena akhirnya bisa sampai rumah dan rebahan, merasa lega di dalam hati saya tidak menaruh harapan ke siapa-siapa lagi, untuk pertama kalinya saya merasa diri sendiri milik diri sendiri seutuhnya, tidak perlu laporan ke siapa pun, tidak perlu kuatirkan perasaan siapa pun dan tidak perlu diawasi oleh siapa pun, tantangan berikutnya adalah akhir bulan Desember, karena saya memutuskan akan resign…