Mungkin ini blog terpanjang dan terlama sejauh ini saya tulis, jadi
harus banyak mengingat kembali saat menuangkan kembali dalam tulisan, karena
kejadian yang diceritakan sudah mau setahun yang lalu.
November tahun lalu saya memberikan diri sendiri sebuah kado, kado
yang saya inginkan, kata orang kebahagiaan itu berada di tangan diri sendiri
dan cuma bisa diberikan oleh diri sendiri juga, mungkin bagi orang lain kado
ini tidak ada artinya atau bahkan tidak menarik sama sekali.
Dipertengahan tahun 2017 saya pernah mengajukan berhenti dari
pekerjaan, alasan sebenarnya karena terlalu sering “dianggurin” dan mengerjakan
apa yang seharusnya tidak kukerjakan, walau semua bisa dikerjakan dengan baik
tapi merasa unsur politik yang tajam di kantor, dan mungkin ada sedikit
diskriminasi, saya beralasan mungkin kemampuan saya belum bisa penuhi kebutuhan
perusahaan berharap perusahaan bisa memutuskan hubungan kerja lebih cepat dari
semestinya (perlu diketahui bahwa jika saya berhenti kerja sebelum masa kerja
berakhir, maka akan kena penalty sejumlah sisa bulan dikali gaji bulanan, itu
berarti saya harus ganti rugi 18 bulan gaji). Permintaan tersebut tidak
disetujui dan saya diminta untuk komitmen menyelesaikan masa kerja sesuai
perjanjian kontrak, merasa negosiasi mentok, terpaksa saya harus terus
melanjutkan pekerjaan hingga masa kontrak berakhir. Lantas setelah berhenti,
apa langkah selanjutnya? Jujur, saya tidak tahu, saya hanya mengikuti apa kata
hati, saya merasa harus keluar dari suasana tidak menyenangkan ini baru bisa
tenang memikirkan apa selanjutnya. Saya terus berpikir dan berpikir tapi buntu,
kemudian terlintas dari pada pusing dengan apa yang belum bisa dikendalikan, lebih
baik nikmati apa yang bisa saya gapai, keputusannya nanti bulan Desember.
Di saat itu sebenarnya saya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan
dan menenangkan, tapi tidak ada, jadi saya cari alternative lain untuk “menyenangkan
diri” , belilah PS4, kemudian kamera, dan tiket PP Bangkok Chiangmai untuk
acara Loy Krathong, bagi orang lain mungkin memang sekedar kado ulang tahun
untuk diri sendiri, tapi sebenarnya ada yang sedang direncanakan, karena bagiku
ini mungkin untuk terakhir kalinya bisa membelanjakan apa yang diinginkan tanpa
berhemat diri, jika beruntung mungkin dalam waktu dekat bisa kembali normal,
tapi jika tidak beruntung…mungkin harus bisa kencangkan ikat pinggang hingga
waktu yang belum bisa diketahui.
PS4 dan kamera mudah dipahami karena memang hobby, lantas kenapa ke
Chiangmai? Karena bertepatan di bulan November ada acara Loy Krathong yang sudah
lama di nanti-nantikan dan saya benar benar berharap bisa nikmati keindahan
lampion di tengah langit malamnya Chiangmai, kebetulan bertepatan untuk sekalian
rayakan ulang tahun, tapi rencana solo traveling tidak berjalan mulus. Ditengah
persiapan menuju hari keberangkatan, si dia yang di China ajak travelling,
sebenarnya ajakan seperti ini sudah tidak asing, karena sudah cukup sering dia
mengajak tapi hampir selalu saya tolak, dan kali ini juga saya tolak, karena semua
wisata di Bangkok, Chiangmai, dan acara Loy Kratong sudah saya rencakan dan
intinya ingin solo travelling. Saya cerita sedikit siapa Dia yang dimaksud, dengan
dia sebenarnya sudah sangat tidak asing, karena sudah kenal dari tahun 2007 tapi
tidak menuju status lebih lanjut, hanya sebatas teman, dia pernah bilang
“sebenarnya kita sangat cocok, bayangkan saja kita sudah berteman bertahun
tahun, meski beda warga negara, tapi komunikasi tidak pernah ada masalah.” Ya
ada benarnya sih, kadang yang menggunakan satu bahasa saja mudah salah paham,
komunikasi itu sangat penting, bukan sekedar chat tiap saat. Dia bilang saya bisa
mengerti dia apa adanya, dan dia pernah sampaikan ingin LDR. Sejarah dengan dia
cukup panjang, saya pernah benar-benar suka dengannya, tapi saat itu dia yang
mundur, namun selang dua tahun kemudian dia mulai ajak komunikasi kembali dan
sifat dia banyak berubah, kemudian belum
lama ini dia mengutarakan ingin LDR, saya sempat mempertimbangkan, karena perjalanan
relationship selama ini juga gagal semua dan saya sudah malas untuk kenalan
dengan orang baru, mungkin harus pertimbangkan orang lama, bisa jadi dia orang
yang tepat untuk awet selamanya.
Akhirnya hari keberangkatan tiba juga, kamera sudah siap, tiket
sudah ditangan, buku catatan untuk semua
tujuan yang ingin dikunjungi juga sudah siap, bagaimana naik bus, naik LRT, bagaimana
ke sana ke situ dan semuanya dinikmati sendirian, betapa menyenangkan nantinya,
tapi ya seperti yang saya bilang tadi, tidak berjalan mulus, karena tiba-tiba dia
mengkabari bahwa dia akan terbang dari China dan tiba di Bangkok di malam yang
sama. Ya…saya bisa berkata apa, anggap saja sebuah kejutan, dan dia janji tidak
akan ganggu jadwal yang sudah saya susun. Selama di pesawat saya jadi berpikir,
kapan terakhir kalinya saya bertemu dengannya? Rasa-rasanya sudah hampir mau 5
tahun lalu, komunikasi juga jarang, chat satu dua baris seperlunya selesai, dan
saya juga ingat baru beberapa bulan lalu saat dia ajak travelling (dari sana
dia tahu schedule saya) dia juga menyampaikan tidak keberatan LDR, apakah
ucapan dia saat itu serius? Mungkin pertemuan ini bisa memberi jawaban.
Pesawat mendarat, dari bandara saya langsung ke hotel, saya pilih
hotel yang di area Asiatiq karena menurut informasi dari internet, acara Loy
Kratong biasa berlangsung di lokasi dekat sungai, warga setempat akan
melepaskan kapal kertas bentuk teratai ke sungai dan melepaskan lampion ke
langit. Saya cek jam di HP sudah mau jam 6 sore dan dia baru akan tiba sekitar
jam 8an malam, berarti harus lama menunggu. Jam tik tak tik tak, saya jadi
berpikir, dia yang sekarang seperti apa? Gendutkah? Kuruskah? Rambut pendek
atau panjang kah? Sempat tertidur karena kelamaan tunggu dan sebenarnya sudah sangat
lapar dan sudah tidak sabar ingin jalan di jalanan malam kota Bangkok yang
ramai, mencoba tujuan kuliner yang
pertama yaitu sup ikan, konon kedai ini People Choice, lihat foto dari internet
saja sudah buat air liur mau netes. Hampir jam 9 malam akhirnya dia tiba di
hotel, lima tahun tidak ketemu, bagaimana rasanya? Kata pertama yang keluar
dari mulutnya “Kamu terlihat makin mirip bintang porno Jepang.” saya balas “Kamu
terlihat makin lezat juga.” dan suara tertawa kita pun lepas.
Selama di Bangkok, dia tepati janji tidak ganggu jadwal yang sudah
saya susun, kadang kita jalan sendiri-sendiri karena tujuan berbeda, kadang dia
ikut saja ke mana saya pergi, kita banyak tukar cerita apa yang terjadi selama
ini, siapa saja orang baru yang dikenal, tentang kerjaan dan saya ceritakan
rencana untuk resign dari pekerjaan sekarang ini, dia kaget dan bertanya apakah
sudah dapat pekerjaan baru? Saya menjawab belum ada dan belum ada rencana cari
kerjaan baru. Kita juga bercerita soal relationship masing-masing, selama ini
dia ada kenal beberapa orang dan semuanya juga gagal, uniknya adalah bagaimana
dia memandang soal relationship, dia bilang “Jika karena suatu kondisi dan terjadi
hubungan badan dengan orang lain saat dia masih berpasangan, maka ya
terjadilah, saya tidak akan menyangkal, saya bukanlah orang suci.” Dia juga
bercerita dia masih menyayangkan putus dengan pasangannya yang terakhir. Dari cara
dia bercerita, saya menyadari ternyata tidak ada perasaan cemburu, marah,
jijik, men-cap dengan tingkah laku dia atau apa pun, saya hanya netral sebagai
pendengar, dan itu membuat saya sadar bahwa saya tidak mungkin LDR dengan orang
di depan mata saya ini, kita hanya bisa sebatas teman, selama travelling walau
kita tidur seranjang, tapi tidak pernah terjadi apa-apa. Saya merasa dengan dia
sudah melewati satu fase yang berbeda.
Selesai dari Bangkok kami lanjut terbang ke Chiangmai, saat naik
taxi menuju bandara dia terus genggam tanganku, saya penuh tebakan terhadap
tindakan dia ini, tapi tidak pernah saya tanyakan langsung. Tiba Chiangmai, karena
hotel pesanan kita berbeda, dia tawarkan untuk pindah ke hotelnya saja, saya booking
hostel yang dekat keramaian dan dia booking resort yang jauh dari keramaian. Dikarenakan
hostel yang saya pesan sudah full sehingga tidak memungkinkan dia untuk pesan
lagi, maka akhirnya saya yang mengalah untuk ikut ke resort dia dan ternyata
itu adalah suatu keputusan yang nantinya saya sadari tidak tepat. Transport di
Chiangmai ternyata tidak seperti di Bangkok yang serba praktis, Chiangmai masih
cenderung menggunakan taksi atau mobil rental, harga juga tidak murah, karena
titik kita ke pusat keramaian juga relative jauh. Pada saat tiba di Chiangmai, driver
yang antar kami ke hotel beritahu bahwa malam ini adalah hari terakhir perayaan
Loy Krathong.
Resortnya memang indah, kamarnya juga besar, tapi lokasinya jauh ke
tempat keramaian dan cuma bisa ditempuh dengan taxi. Selesai check in kami
langsung makan besar, dan tidak ada pilihan tempat makan lain yang dekat selain
di hotel. Habis makan istirahat kita langsung berangkat ke pusat kota dan
suasana pusat kota sudah ramai pengunjung dari manca negara untuk menyaksikan
keseruan Loy Krathong, kita jadi makin yakin kalau lokasi yang kita kunjungi
sudah tepat, karena awalnya kita masih agak ragu apakah pemilihan titik untuk
menyaksikan acara sudah tepat atau belum, meskipun sebenarnya supir taxi juga
arahin kami ke titik ini.
Malam Loy Krathong sangat menyenangkan, saya beli 3 lentera untuk
dilepaskan, tapi tidak ingat doa apa yang saya sampaikan, mungkin karena
terlalu seru menikmati keramaian malam Loy Krathong, sebenarnya dalam hati
masih merasa bahwa ini sepertinya bukan the best spot nya, tapi yang penting
menikmati saja suasana keramaian malam itu dan tidak lupa mencicipi makanan baru.
Pulang ke hotel saya lihat sudah mau jam 3 pagi, suasana di hotel
sunyi sepi, walau ada juga tamu lain melepaskan lentera dekat kolam renang,
tapi beda sekali suasananya. Saya tidak ingat malam itu saya tertidur jam
berapa, pagi saat bangun saya merasa badan agak panas, tapi saya abaikan lanjut
mandi dan beres-beres, si dia masih tetap tidur, saya langsung pergi ke tempat
sarapan sambal memikirkan hari ini ingin berkunjung ke mana lagi, selesai makan
merasa ada yang tidak beres, badan saya semakin panas dan lemes, akhirnya saya
terkapar di kasur saja. Dia sempat tanya kondisi saya, tapi saya persilahkan
dia lanjut acara jalan-jalannya saja, saya
tidak ingin merusak jadwal jalan-jalan dia dan kemarin dia sempat sudah
rencanakan ingin ke beberapa tempat.
Akhirnya saya berhasil bujuk dia lanjut
jalan-jalan saja, dan dia bilang mungkin akan sekalian ketemuan dengan orang
lain juga, tidak masalah bagi saya. Beberapa jam kemudian, dia pamit pergi dan
saya sendirian di kamar, saat itu merasa kesadaran hanya ada setengah saja,
tidak tahu sudah berbaring berapa lama, rasanya sudah jam makan siang jadi saya
paksakan diri bangun dan mau jalan ke restoran hotel, itu saja dunia sudah
rasanya bolak balik, padahal mungkin cuma berjarak tidak lebih dari 10 meter.
Karena makanan Thailand mayoritas pedes, pikirnya mungkin menu bubur tadi pagi
masih ada, untuk makan lainnya benar-benar tidak bisa, tapi pelayan hotel
bilang layanan sarapan sudah ditutup, untuk menu bubur tidak ada di menu makan
siang, saya kembali bertanya apakah ada klinik atau restoran di sekitar sini
yang bisa terjangkau dengan jalan kaki? Staff hotel bilang tidak ada yang
dekat, paling dekat mungkin sekitar 5km dari hotel, merasa tak berdaya akhirnya
saya balik ke kamar memilih tidur saja, baru rebahan sebentar saya merasa tidak
tahan dengan rasa lapar, demam dan pusing kepala, akhirnya saya paksakan
kembali ke receptionis minta dipesankan taxi untuk pergi ke klinik, tapi staff
hotel sangat membantu, mereka memutuskan mengantar saya langsung ke mini market
terdekat untuk beli obat dan sekaligus beli makanan. Hari itu sepanjang hari
saya tertidur lemas dengan kondisi demam dan sakit kepala, entah berapa lama
saya tertidur hingga saya terdengar suara pintu terbuka, sepertinya sudah
sangat malam, karena kondisi ruangan sangat gelap lampu belum dinyalakan dan
sunyi, senyap-senyap saya berusaha buka mata, ternyata dia sudah pulang, dia
sempat pegang kening dan bertanya apakah saya sudah makan belum? Tapi saya
tidak jawab, bukan karena tidak mau jawab, tapi memang sudah sangat lemas
bahkan untuk sekedar buka suara. Setelah dia beres-beres, dia juga naik ranjang
untuk istirahat, dia kembali bertanya, sepertinya deman kamu tidak turun-turun,
yakin besok kamu bisa berangkat ke bandara? Saya kembali tidak jawab, karena
benar-benar sudah sangat lemes dan tidak tahan dengan pusing kepalanya, untuk
buka mata saja rasanya sangat menyiksa. Jadwal kepulangan saya dengan dia
memang berbeda, saya pulang sehari lebih cepat.
Subuh-subuh alarm hp sudah berbunyi, kondisi badan saya masih tidak
membaik, sambil paksakan diri berberes dan packing, dia masih tertidur. Waktu
menunjukkan jam 6 pagi, saya langsung pergi sarapan dengan harapan agar badan
cukup kuat untuk tempuh perjalanan seharian nanti. Selesai sarapan saya balik
ke kamar untuk ambil koper karena staff hotel sudah kabari taxi ke bandara
sudah siap, saat masuk kamar dia masih di ranjang, setengah bangun bertanya,
apakah badan kamu sudah baikkan? Saya bilang masih sama dengan kemarin, malah
tadi makan sarapan tidak ada rasanya, tapi saya paksakan makan. Saya juga
bertanya hari ini rencana jalan-jalan ke mana? Dia bilang hari ini dia sudah
ada rencana ketemuan dengan temannya, sehabis itu saya pamitan dan dia lanjut
tidur.
Sepanjangan perjalanan dari hotel ke bandara, saya tertidur lemas,
bahkan tak kuat buka mata untuk melihat sekilas kota Chiang Mai untuk sekejap,
penerbangan dari Chiang Mai ke Bangkok memang singkat hanya 30 menit, tapi
penerbangan transit berikutnya dari Bangkok ke Jakarta masih lama, saya yang
dalam kondisi lemas, demam, pusing kepala binggung harus menunggu di mana yang
memungkinkan bisa tidur, setidaknya bisa buat rebahan, setiba di airport
Bangkok, gate penukaran tiket masih belum dibuka, akhirnya saya memilih ke
restoran saja, kembali paksa makan sesuatu biar ada tenaga, tapi apa pun yang
dimakan semua hambar tak ada rasa dan harus dipaksakan untuk telan. Sehabis
makan saya tertidur di meja restoran cukup lama, mungkin ada sejam, kemudian kembali
cek ke penukaran boarding pass, merasa lebih aman menunggu di ruang tunggu saja
mungkin bisa lanjut tidur dan jaga-jaga tidak ketinggalan pesawat, pada saat
sudah di ruang tunggu, saya baru sadar sepertinya di airport Bangkok ada klinik,
seharusnya saya bisa istirahat di sana, tapi sudah malas beranjak dari tempat
duduk, malam itu juga dengan penuh perjuangan akhirnya saya selamat balik ke
Jakarta.
Solo traveling ini mengajarkan saya banyak hal, saya merasa
bersyukur saya tidak pernah merasa ada ketergantungan kepada siapa pun, merasa
bersyukur tidak terlalu main perasaaan di saat single, dan merasa bersyukur
tidak pernah banyak berharap ke siapa pun dalam kondisi seperti ini, saya
sangat sabar dan santai menghadapi cobaan terakhir ini, entah kenapa dadakan
bisa demam parah dan pusing kepala, padahal tidak ada gejala apa-apa sebelumnya
dan bisa santai suruh teman lanjut jadwal acara dia tak perlu urusin saya, padahal
teman ini bilangnya perhatian, sayang dan lain lain, saya baik-baik saja
melewati semua ini, tidak ada ribut-ribut juga, semua ini seperti membuat semuanya
terlihat lebih jelas, bahwa hampir semua orang itu selalu mengantungkan
keinginnan dia kepada orang lain, berharap ingin dapat sesuatu dari orang lain,
ingin waktunya, ingin perhatiannya, ingin hartanya (mungkin ada yang begitu),
tapi tidak pernah ingin mengerti dan memberi apa yang orang lain inginkan,
tidak semua kebaikan atau pemberi dari kita itu artinya wajib diterima orang
lain juga, karena bisa jadi memang bukan itu yang diinginkan, tidak perlu
menyalahkan orang lain yang tidak terima kebaikan dan tidak perlu merasa
bersalah diri juga.
Saya merasa lega karena akhirnya bisa sampai rumah dan rebahan, merasa
lega di dalam hati saya tidak menaruh harapan ke siapa-siapa lagi, untuk
pertama kalinya saya merasa diri sendiri milik diri sendiri seutuhnya, tidak
perlu laporan ke siapa pun, tidak perlu kuatirkan perasaan siapa pun dan tidak
perlu diawasi oleh siapa pun, tantangan berikutnya adalah akhir bulan Desember,
karena saya memutuskan akan resign…